Rekan-rekan yang budiman!
Bacaan
Injil Yohanes bagi Minggu Paskah VI tahun B ini (Yoh 15:9-17) sarat
dengan kosakata yang berhubungan dengan gagasan "kasih": saling
mengasihi", "tinggal dalam kasih" "memberikan nyawa demi
sahabat-sahabatnya". Baik diingat, petikan ini diangkat dari bagian
Injil Yohanes yang menyampaikan pengajaran Yesus kepada para murid
selama perjamuan malam terakhir (Yoh 13:31-17:26). Para murid perlu
belajar hidup terus tanpa kesertaan Yesus seperti biasa. Mereka
diajarnya membangun kebersamaan dalam ujud lain. Dengan tujuan itulah
kiranya diberikan pesan-pesan mengenai saling mengasihi dan
sepenanggungan.
PENGAJARAN KHUSUS
Kata-kata Yesus yang
disampaikan Yohanes dalam Injil hari ini adalah bagian pesan-pesan yang
diucapkannya pada sebuah kesempatan khusus, yakni perjamuan malam
terakhir bersama murid-muridnya. Pada awal perjamuan Yesus menyebutkan,
salah seorang dari mereka akan menyerahkannya (Yoh 13:21-30). Hubungan
guru-murid yang hingga saat itu baik mulai terganggu oleh kekuatan
gelap. Kelompok ini tidak lepas dari kelemahan manusiawi juga. Saat itu
murid-murid tak mengerti ke mana arah kata-kata itu. Petrus meminta
Yohanes ("murid yang dikasihi") bertanya siapa yang dimaksud. Yesus
menjawab bahwa orang yang dimaksud ialah dia yang akan diberinya roti
yang siap disantap. Kemudian ia memberikan roti itu kepada Yudas
Iskariot. Demikian jelas bagi pembaca siapa yang dimaksud. Disebutkan
juga dalam Injil Yohanes bahwa sesudah itu Yudas kerasukan Iblis (Yoh
13:27). Yesus sadar betul akan hal ini. Yesus berkata kepada Yudas agar
ia segera pergi melakukan apa yang hendak diperbuatnya. Dan Yudas pun
keluar. Murid-murid tidak menangkap arti kejadian itu. Mereka mengira
Yesus menyuruh Yudas, pemegang kas mereka, untuk pergi membeli sesuatu.
Yudas
kerasukan Iblis justru pada saat Yesus memberinya roti yang sudah
dicelupkan - artinya makanan yang siap untuk disantap yang diberikan
oleh tuan rumah kepada orang yang diundangnya. Sampai saat itu Yesus
masih menganggap Yudas orang sendiri, termasuk keluarga, diajak makan
bersama. Tapi justru pada saat itulah kekuatan gelap yang melawan Yesus
membadan dalam diri seorang manusia. Dan bukan sebarang orang, melainkan
orang yang amat dekat dengannya. Yohanes menceritakan semua ini lama
setelah peristiwa itu terjadi. Namun baginya jelas, itulah saatnya Iblis
memakai cara-cara manusiawi juga untuk masih berusaha menggagalkan
kehadiran ilahi di tengah-tengah manusia. Menarik diperhatikan
perkembangan pergulatan antara dua kekuatan ini. Allah memakai ujud
manusia untuk menjalankan karya penebusan - yakni Yesus yang lahir dan
berada di tengah-tengah manusia. Kekuatan-kekuatan yang melawan karya
Allah itu kini juga memakai ujud manusia pula. Dan bukannya keduanya
tidak saling mengenal. Justru mereka amat dekat satu sama lain.
Pengajaran
Yesus kepada para murid selama Perjamuan terakhir itu menurut Yohanes
disampaikan "setelah Yudas pergi" (Yoh 13:31). Keterangan ini amat
penting. Yudas yang sudah kerasukan Iblis itu tidak lagi ada di situ
ketika Yesus mengajar mengapa para murid hendaknya saling mengasihi.
Dengan perginya Yudas dari kelompok itu hendak dikatakan bahwa waktu itu
kekuatan jahat tidak hadir mengancam kelompok tadi. Kata-kata Yesus
mulai saat itu boleh diterima para murid tanpa khawatir dikelirukan oleh
kekuatan-kekuatan yang bisa mengalihkan maksudnya. Semua yang
dikatakannya dari saat itu hingga nanti ditangkap di sebuah taman di
seberang sungai Kidron (Yoh 18) bebas dari kehadiran yang jahat.
KEBERSAMAAN
Yohanes
hendak menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan gelap itu bisa juga
memakai cara-cara yang dipakai Allah sendiri. Satu-satunya cara untuk
bertahan ialah saling menopang dengan saling berbagi ingatan mengenai
Kabar Gembira yang dibawakan sang Guru mereka. Jangan ada yang satu
merasa lebih besar dari yang lain, apalagi saling merahasiakan
pengetahuan dan ingatan. Inilah saling mengasihi dalam arti yang paling
dasar. Dalam keadaan itu juga mulai terhimpun pula tulisan-tulisan yang
akhirnya kita kenal sebagai Injil-Injil dalam Alkitab. Dari situ juga
tumbuh komunitas para murid. Tak mengherankan bila ibadat dan kesempatan
saling berbagi ingatan di antara para murid itu kemudian dikenal
sebagai "agape", yang arti harfiahnya ialah "kasih". Bagaimana
penjelasannya?
Awal dan akhir petikan ini berbicara mengenai
kasih antara Yesus dan Bapanya yang menumbuhkan kasih antara Yesus
dengan para murid (Yoh 15: 9). Di akhir petikan ini kita dengar Yesus
berkata, "Kuperintahkan kepadamu: hendaknya kalian mengasihi satu sama
lain!" (ay. 17). Begitulah terjemahan harfiahnya. Terasa ditekankan
bagian yang mengharapkan agar para murid saling mengasihi. Tujuan saling
mengasihi di situ ialah membangun komunitas para murid sehingga tiap
orang mendapat ruang hidup yang layak.
Petikan hari ini
sebetulnya berperan sebagai "pembacaan kembali" dalam rangka mendalami
kata-kata Yesus yang sudah disampaikan dalam Yoh 13:34-35. Ay. 34
mengatakan, "Aku memberi kalian sebuah perintah baru, yaitu hendaknya
kalian saling mengasihi". Kemudian dijelaskan mengapa sewajarnyalah
begitu, yakni "Sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu
hendaknya kalian saling mengasihi." Sikap saling mengasihi itu tumbuh
dari perhatian besar dari Yesus bagi para murid. Inilah yang disebut
sebagai "perintah baru" di situ. Mengapa disebut "baru"? Jelas bukan
karena semua perintah lain tak berfaedah lagi. Bukan juga karena orang
belum tahu, melainkan dalam arti yang mesti dihidupi dengan cara yang
segar, yang tidak kaku, bukan secara rutin belaka, secara wajib belaka.
Dan bila mereka berhasil, seperti disebut dalam ay. 34, maka kehidupan
mereka itu orang banyak akan tahu bahwa mereka tetap menjadi
murid-muridnya. Orang banyak akan melihat bahwa perilaku serta
tindakan-tindakan para murid Yesus menghadirkan kembali Yesus sendiri.
Hidup mereka seakan-akan menyuratkan perintah dari atas yang dapat
dibaca orang banyak. Hidup mereka menjadi kesaksian. Dalam arti inilah
dapat lebih dipahami yang dimaksud saling mengasihi dalam petikan yang
dibacakan hari ini. Bahkan bisa dikatakan, yang dimaksud ialah
kekuatan-kekuatan yang tumbuh dari hubungan batin dengan sang Guru
sendiri. Demikianlah tindakan para murid tidak bersumber dari diri dan
kemauan mereka sendiri. Tindakan mereka dijiwai oleh kehadiran guru
mereka dalam diri mereka.
KESATUAN BATIN
Maju selangkah lebih
dalam. Yesus sendiri menjelaskan dari mana kekuatan-kekuatan tadi
berasal. Pada awal petikan ini disebutkan "seperti Bapa telah mengasihi
aku, demikianlah juga aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam
kasihku itu. Kekuatan mengasihi itu bersumber pada Yang Maha Kuasa
sendiri dan yang menjadi nyata dalam kehidupan Yesus dan dihayatinya
bersama para muridnya.
Bagaimana saling mengasihi itu dapat
dibahasakan bagi orang sekarang? Boleh jadi gagasan sepenanggungan, atau
solidaritas bisa membantu. Bila ada solidaritas orang mulai mudah
saling percaya. Dan bila orang mulai makin saling percaya
hubungan-hubungan selanjutnya bisa terbangun. Juga kesulitan pun menjadi
perkara yang tidak lagi membuat putus asa. Inilah bagian "pengetahuan"
terakhir yang diturunkan Yesus sang Guru kepada murid-muridnya. Yang
diwariskan Yesus itu ialah keyakinan untuk bersama-sama memperbaiki
kemanusiaan, mulai dengan cara kecil-kecilan, dengan saling memberi
perhatian. Kita diminta menemukan jalan-jalan baru yang belum
terpikirkan sebelumnya. Ini kemanusiaan baru. Inilah yang menunjukkan
Tuhan tetap mengasihi manusia. Dan pengajaran yang diturunkan kepada
murid-murid tadi itu juga bisa menjadi warisan bagi kita juga. Setiap
orang dapat menghidupkan apa itu kasih kepada sesama dengan pelbagai
cara. Ini spiritualitas yang kreatif. Itulah Injil yang bersumber pada
Yesus sendiri. Dapat dipelajari walau tidak dapat begitu saja diterapkan
seperti sebuah pola yang sudah jadi. Memang orang dapat merasakan bila
kehadirannya samar-samar belaka. Namun bila hadir, kreativitas saling
mengasihi itu akan membuka wilayah-wilayah kehidupan baru.
Salam hangat
A. Gianto - Roma
*) Sumber Millis KD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar