Sabtu, 20 Agustus 2011

Barangsiapa terbesar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu


(Rut 2:1-3.8-11; 4:13-17; Mat 23:1-12)
Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi. Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara.” Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat 23:1-12), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Bernardus, Abas dan Pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
·   Abas adalah pemimpin atau superior hidup kontempaltif fungsinya sederajat dengan uskup, pembesar atau pemimpin Gereja Katolik di keuskupannya. Para uskup atau gembala kita senantiasa berusaha untuk menjadi hamba atau pelayan umat, maka di dalam doa Syukur Agung uskup senantiasa menyatakan diri sebagai hamba yang hina dina. Sabda Yesus hari ini mengingatkan dan mengajak kita semua yang beriman kepadaNya untuk merendahkan diri; “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”, demikian sabdaNya. Maka marilah kita semua berusaha untuk rendah hati, dan sudah berkali-kali saya mengingatkan agar kita semua rendah hati. “Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 24). Kami berharap rendah hati ini sedini mungkin dididikkan atau dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret para orangtua atau bapak ibu. Penghayatan rendah hati pada masa kini kiranya dapat menjadi nyata dalam cara hidup dan cara bertindak yang tidak mengeluh atau tidak menggerutu dalam menghadapi apa saja yang tidak sesuai dengan selera pribadi. Saya yakin bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari cukup banyak hal yang tidak sesuai dengan selera pribadi, dengan kata lain rendah hati dapat kita latih atau biasakan setiap hari dalam hidup sehari-hari. Mengeluh atau menggerutu hemat saya merupakan bentuk kesombongan yang paling halus atau lembut, dan mudah dilakukan oleh siapapun.
·   "Biarkanlah aku pergi ke ladang memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadaku.” (Rut 2:2), demikian kata Rut kepada Naomi. Apa yang dikatakan oleh Rut ini hemat saya merupakan ungkapan hati orang yang rendah hati. “Memungut bulir-bulet jelai di belakang orang yang murah hati” berarti mengumpulkan sisa-sisa panenan jelai gandum. Bukankah hal ini berarti merupakan pekerjaan yang hina? Maka dengan ini kami berharap kepada kita semua untuk tidak malu melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana atau hina seperti menyapu, mengepel, membersihkan toilet  dst.. alias melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan kebutuhan hidup kita, sebagaimana sering dilakukan oleh para pembantu rumah tangga dll. Sekiranya anda tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pekerjaan tersebut, baiklah kami mengajak anda untuk menghargai dan menghormati para pembantu rumah tangga anda, antara lain tidak mudah memarahi mereka, memberi jaminan kesejahteraan yang memadai alias imbal jasa yang menjamin kehidupan mereka serta keluarganya sehingga dapat hidup sejahtera baik phisik maupun spiritual, lahir maupun batin. Hari-hari ini ada kemungkinan para pembantu anda sudah minta cuti dalam rangka merayakan Idul Fitri, dan anda akan merasa kehilangan sesuatu dengan absennya para pembantu rumah tangga. Jadikanlah pengalaman tersebut menjadi bahan refleksi betapa mahalnya nilai pembantu rumah tangga, betapa besar arti dan kehadiran para pembantu rumah tangga di dalam keluarga kita masing-masing. Memang benar sesuatu akan terasa berharga ketika ia absen atau tidak ada di hadapan kita, sementara itu kita sungguh membutuhkan.
Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya! Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu! Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu! Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki yang takut akan TUHAN.” (Mzm 128:1-4)
Ign 20 Agustus 2011
*) Sumber Millis Keuskupan Denpasar

Sabtu, 06 Agustus 2011

Belajar Percaya dan menyadari kehadiran Tuhan

Dalam Kitab Bilangan, 13:1-2a.25-14:1.16-29.34-35. kita dapat membaca bagaimana umat Israel merasa diri yang kecil. hina dan tidak berarti di hadapan bangsa-bangsa lain karena kurang percaya dan tidak menyadari kehadiran Allah yang mahakuasa di tengah-tengah mereka. Mereka tidak melihat karya agung Allah yang telah membebaskan mereka dari bangsa Mesir. Mereka tidak melihat bagaiman Allah telah menuntun mereka keluar dari Mesir, menyeberangi Laut Merah dengan tangan-Nya yang kuat dan kuasa, Mereka tidak menyadari kehadiran Allah yang telah menyertai mereka selama pengembaraan dan perziaraan di padang gurun. Lebih dari itu, mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah yang harus menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Akibatnya mereka harus mendapat murkah dari Allah dan mengembara di padang gurun selama 40 tahun. Bahkan mereka tidak diperkenankan masuk ke Tanah Terjanji.
    Selanjutnya dari wanita Kanaan, kita dapat melihat dan belajar untuk percaya dan menyadari kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita yang mau menyelamatkan dengan berkat dan rahmat-Nya. Sebagaimana dapat kita baca dalam Injil Mat 15:21-28. Kita diajak untuk belajar percaya dan menyadari kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita, dan sekaligus menjadi berkat bagi orang-orang lain, walau terkadang hanya sebagai remah-remah saja. "Benar Tuhan, tetapi anjing-anjing bisa makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya" Mat 15:27. Memang benar bahwa keselamatan pertama-tama diperuntukkan bagi bangsa pilihan. "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari bangsa Israel, sabda Tuhan Mat 15:24". Tetapi sesuai dengan janji Allah sendiri bahwa bangsa Israel akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain.
    Demikian juga seharusnya kita, sebagai pengikut-pengikut Kristus, kita harus "Belajar Percaya dan Menyadari Kehadiran Tuhan" di tengah-tengah kita dengan berkat dan rahmat-Nya yang mau menyelamatkan, kemudian boleh menjadi berkat bagi orang-orang lain.
Salam Dalam Kasih Kristus.

Sumbawa, 4 Agustus 2011
Rm. Klemens Bere Pr.

Jumat, 05 Agustus 2011

TENANGLAH! INILAH AKU, JANGAN TAKUT!"



Rekan-rekan!

Injil Minggu Biasa XIX A ini (Mat 14:22-33) mengisahkan bagaimana para murid
tidak segera mengenali Yesus yang mendatangi mereka dengan berjalan di atas air.
Matius mengolah kembali kisah Yesus berjalan di atas air dalam Mrk 6:45-50 (bdk.
Yoh 6:16-20) dan menambahkan cerita mengenai Petrus (ayat 28-31) yang didapatnya
dari sumber-sumber mengenai tokoh itu. Khas Matius, pada akhir kisah (ayat 33),
disebutkannya bahwa para murid mengakui Yesus sebagai Anak Allah. Markus
menyampaikan pandangan yang berbeda; dalam Mrk 6:51a-52 dikatakan.orang-orang
itu hanya tercengang tanpa mengenal siapa Yesus sesungguhnya "karena hati mereka
tetap tidak peka."

YESUS MENDESAK PARA MURID

Setelah memberi makan 5000 orang, Yesus segera mendesak para murid agar
menyeberangi danau. Ia sendiri naik ke sebuah bukit untuk berdoa. Kata
"mendesak" memang keras, begitu juga dalam teks aslinya. Ada yang perlu
dilakukan agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan. Apa itu? Menurut Injil
Yohanes, orang banyak yang mengalami peristiwa roti itu kini mau mengangkatnya
sebagai raja. Oleh karenanya Yesus menyingkir ke gunung seorang diri (Yoh 6:15).
Dia menghindari mereka yang mau memaksakan ukuran-ukuran serta cita-cita mereka
sendiri kepadanya. Kebesarannya yang sejati terletak dalam pengorbanan menebus
kemanusiaan dengan penderitaan hingga mati di salib, dan khas menurut Yohanes,
hingga "terlaksana" demikian (Yoh 19:30). Yesus menyingkir menyendiri, dan
seperti dicatat Matius dan Markus, untuk berdoa. Ia mencari pengarahan dari Dia
yang mengutusnya. Bagaimana dengan para murid? Boleh jadi mereka juga sudah
mulai berpikir seperti orang banyak. Mereka juga tak dapat menerima mengapa
Yesus yang sedemikian terhormat itu bakal ditolak dan dibunuh oleh orang-orang
di Yerusalem. Para murid belum paham akan kemesiasan rohani Yesus. Mereka malah
mengira ini saat tepat bagi Yesus untuk menjadi pemimpin masyarakat yang
dinanti-nantikan! Bila kita perhitungkan keadaan itu, maka tak sulit mengerti
mengapa Yesus mendesak mereka agar pergi ke seberang danau. Ia bermaksud
menjauhkan mereka dari orang-orang yang memiliki anggapan yang kurang cocok
mengenai dirinya. Mereka disendirikan agar nanti dapat melihat dirinya yang
sebenarnya. Dan ia sendiri menyingkir ke keheningan doa.

PERAHU TEROMBANG-AMBING

Para murid berusaha mencapai seberang danau. Berjam-jam mereka berputar-putar
karena menghadapi angin sakal dan gelombang. Apa yang dirasakan para murid?
Mereka kan orang-orang yang cukup berpengalaman mengenai gelombang, mengenai
arah angin, dst. Mereka tahu waktu-waktu itu kurang baik untuk berperahu ke
seberang. Tak jelas bagi mereka mengapa Yesus menyingkiri massa yang baru saja
dipuaskannya dengan makanan. Malah murid-murid juga disuruh menjauh dari
orang-orang yang pasti bakal menjadi pengikutnya. Dan mengapa mereka mesti
menuju ke arah yang sulit dicapai dalam keadaan ini. Bagaimanapun juga mereka
menurut dan berkayuh semalam penuh sampai dini hari. Dan ketika berada di tengah
danau, gelombang dan angin semakin mengombang-ambingkan perahu mereka.

Para murid merasa terancam. Runyamnya, kini guru mereka tidak ada bersama
mereka. Tidak seperti ketika Yesus tidur di perahu (Mat 8:23-27 Mrk 4:45-41 Luk
8:22-25). Mereka dapat membangunkannya dan ia meredakan angin ribut. Kali ini
mereka tidak disertai dia yang berkuasa atas angin dan danau! Mereka mulai
dikuasai waswas. Peristiwa ini kerap diterapkan pada kehidupan umat yang
terombang-ambing di tengah arus-arus yang membuat bahtera yang sedang membawa
mereka - gereja - berputar-putar tanpa arah. Kekacauan menjadi-jadi dan terasa
lebih kuat daripada tuntunan ilahi sendiri.

Ketika Yesus mendekat, para murid tidak segera mengenalinya. Malah ia dikira
jejadian. Cara Matius berkisah menarik. Dipakainya kutipan langsung, "Itu
hantu!" (Mat 14:26). Bandingkan dengan sumbernya dalam Mrk 6:49 yang memakai
cara bercerita biasa. Yoh 6:19 malah hanya menyebut mereka ketakutan begitu
saja. Peristiwa ini disampaikan Matius dengan cara dramatik diselingi rasa humor
tapi juga simpati. Pembaca dapat merasa diikutsertakan sambil tetap memandangi
kejadian-kejadian dengan tenang. Kita boleh tersenyum dan berkomentar dalam
hati, kok bodo amat ya para murid itu! Teriak-teriak kayak anak kecil merasa
melihat hantu! Namun seperti halnya humor yang berhasil dapat menjadi cermin
bagi pembaca, juga kisah ini dapat menghadapkan kita pada pengalaman yang
mirip-mirip yang sering tidak segera kita sadari.

YESUS BERJALAN DI ATAS AIR

Apa arti "berjalan di atas air"? Dipakai kata yang harfiahnya berarti "berjalan
mondar mandir", seperti sedang berjalan-jalan santai di taman. Juga ada makna
serta "berinteraksi" dengan keadaan dengan tenang dan enak. Dahulu para guru
Yahudi sering diceritakan mengajarkan prinsip-prinsip etika kepada para murid
mereka sambil "berjalan-jalan", sering tidak dalam arti mondar mandir
melangkahkan kaki, melainkan menelusuri pelbagai gagasan, teori, serta pemikiran
leluhur dan para cerdik pandai. Begitulah asal usul pengajaran yang biasa
dikenal sebagai "halakha", yakni penjelasan yang dituruntemurunkan mengenai
hukum dan agama. Diajarkan bagaimana menelusuri perkara-perkara kehidupan dengan
santai tapi waspada, tidak tegang dan terpancang pada satu hal saja. Seorang
ahli dapat dengan enak meniti arus-arus pemikiran tanpa terhanyut.

Murid-murid melihat ada sosok yang menguasai gerakan-gerakan gelombang. Yesus
tidak menggilasnya. Juga pada kesempatan lain ketika menghardik angin dan danau
(Mat 8:26 Mrk 4:39 Luk 8:24), ia cukup menyuruh mereka diam. Itulah tempat
mereka yang sebenarnya di hadapan keilahian. Sekarang ia malah tidak memakai
kata-kata. Ia leluasa berjalan di atas kekuatan-kekuatan itu.
Kenyataan-kenyataan yang bisa mengacaukan tidak menggentarkannya. Malah mereka
dijinakkan. Ini semua dilihat para murid. Namun mereka tidak sertamerta
mengenali siapa dia itu yang bertindak demikian. Sosok ini datang dari Yang
Ilahi atau dari yang jahat? Begitulah cara mereka membeda-bedakan. Tak banyak
menolong. Yesus menenangkan dan menyuruh mereka melihat baik-baik bahwa dialah
yang ada di situ. Tak perlu lagi risau akan kekuatan-kekuatan yang menakutkan
yang sebenarnya semu dan justru akan benar-benar membahayakan bila dianggap
sungguh. Yesus hendak mengajarkan kebijaksanaan yang dihayatinya sendiri. Di
padang gurun ia berhasil melewati godaan Iblis dengan budi yang terang, bukan
dengan balik menghantam. Pembaca yang jeli akan menghubungkan ketenangannya itu
dengan tindakannya sebelum datang kepada murid-muridnya: ia pergi menyendiri dan
berdoa, meluruskan serta membangun hubungan dengan keilahian dalam ketenangan.
Itulah sumber kebijaksanaannya.

Ayub 9:8 menyebut Allah yang Mahakuasa "membentangkan langit", dan "berjalan
melangkah di atas gelombang-gelombang laut", artinya menguasai kekuatan-kekuatan
yang tak terperikan dahsyatnya. Tidak dengan meniadakannya, melainkan dengan
mengendalikannya. Ia mengatur alam yang dahsyat itu dengan kebijaksanaaNya.
Yesus menyelaraskan diri dengan Yang Mahakuasa yang demikian itu. Ia tetap
mengarahkan diri kepadaNya. Dan menurut Matius, nanti pada akhir kisah ini, para
murid mengakuinya, "Sesungguhnya Engkau itu Anak Allah." Mereka mulai paham
bahwa Yesus membawa keilahian dalam dirinya.

PERAN PETRUS

Mengapa Petrus mulai tenggelam? Seperti diceritakan, ketika merasakan tiupan
angin, Petrus mulai tenggelam. Matius tidak mengatakan semuanya. Tapi tadi ia
kan sudah menjelaskan bahwa Yesus berdoa sebelum mendatangi murid-muridnya
dengan berjalan di atas air. Bagaimana dengan Petrus? Tokoh ini bertindak dengan
spontanitas dan maksud baik belaka. Lihat apa yang terjadi! Tapi akhirnya ia
berteriak minta tolong, "Tuhan, tolonglah aku!" Seruan ini diarahkan kepada
Tuhan. Ini doa. Dan doanya didengarkan. Tapi siapa yang memegang tangan Petrus
dan menahannya agar tidak tenggelam? Yesus. Di sini ada pengajaran yang amat
dalam. Yesus yang dikenal sehari-hari dan diikuti itu menjadi jalan Yang
Mahakuasa menolong dalam saat-saat kritis. Kejadian ini membuat orang-orang yang
ada di perahu mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Dalam ayat 33, ketika
Yesus dan Petrus sudah naik ke perahu, orang-orang itu menyembah Dia - tentunya
menyembah Yang Mahakuasa sendiri - dan mengenali kehadiranNya di dalam diri
Yesus yang kini mereka akui sebagai Anak Allah. Markus berbeda. Ia mengatakan
para murid hanya tercengang, tanpa memahami, karena hati mereka tidak peka (Mrk
6:51a-52). Tapi Markus tidak menyertakan episode Petrus seperti Matius.
Kelihatan betapa besarnya peran Petrus yang dengan tindakan yang tampaknya
konyol tadi malah membuat rekan-rekannya menyadari siapa sebenarnya guru yang
mereka ikuti itu.

Yesus menyapa Petrus (ayat 31), "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau
bimbang!" (ayat 31). Memang dalam kisah tadi kata-kata itu ditujukan kepada
Petrus, tetapi isinya dimaksud bagi siapa saya. Juga bagi kita. Satu hal lagi.
Walaupun harfiahnya berisi celaan, nada kata-kata itu penuh perhatian
sebagaimana layaknya seorang guru kepada muridnya. Ada bombongan: jangan
bimbang, jadilah besar dalam iman!

Salam hangat,
A. Gianto
Sumber: millis Keuskupan Denpasar

Rabu, 03 Agustus 2011

Kamu Harus Memberi Mereka Makan

 
Di HUT Imamatku yang ke 12, aku coba merenungkan Teks Mateus 14 : 13 - 21. Aku tertarik kepada sabda Yesus kepada para Murid-Nya, "Kamu Harus Memberi Mereka Makan". Sabda Yesus ini ditujukan kepada para murid sebagai pemimpin umat masa depan. Di mana para murid melihat banyak orang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Para murid merasa prihatin terhadap orang banyak, karena mereka berada di tempat yang sunyi, jauh dari kota dan desa. Tentu sulit untuk mendapatkan makanan dan minuman.
    Satu inisiatip yang baik, para murid datang kepada Yesus dan meminta supaya Yesus menyuruh orang banyak pulang supaya bisa membeli makanan di desa-desa dan kota-kota mereka. Tetapi di luar dugaan Yesus justru meminta mereka supaya memberi orang banyak itu makan. Ada beberapa hal yang dapat saya lihat dari permintaan Yesus ini.
1. Para murid sebagai tuan rumah karena bersama-sama dengan Yesus, harus melayani tamu-tamu yang datang supaya tidak ada yang terlantar dan diabaikan.
2. Para murid sebagai pemimpin masa depan, harus kreaktif mengupayakan agar umat yang dipercayakan kepada mereka tidak kelaparan, dan berkekurangan.
3. Para murid diajak untuk menyadari bahwa Yesus Guru mereka yang kini hadir di tengah-tengah mereka, siap membantu dan menolong, bila mereka meminta bantuan kepada-Nya, karena di dalam DIA ada kelimpahan berkat dan rahmat. "Aku datang supaya mereka memiliki hidup, bahkan mempunyainya dalam kelimpahan" sabda Tuhan.
Dalam kaitan dengan HUT Imamatku, aku melihat beberapa hal dalam hubungan dengan diriku sebagai Gembala Umat. Kepadaku Tuhan percayakan umat dalam kegembalaanku. Sebagai Gembala tentu aku juga harus berusaha supaya tidak ada umat yang merasa terlantar dan diabaikan. Walau pun aku sadar, bahwa aku belum memenuhi semua harapan Yesus. Karena kenyataannya banyak umat yang belum aku kenal, bahkan belum aku kunjungi selama satu tahun lebih berada di tengah-tengah umat.
Di samping itu, aku disadarkan bahwa DIA yang mengutus aku pasti tidak pernah membiarkan aku berjalan seorang diri. Tetapi untuk itu, aku harus selalu datang kepada-Nya, dekat dengan-Nya. Membangun relasi yang intim dengan DIA dalam doa-doa dan Perayaan Ekaristi Kudus. Itu berarti sumber kekuatan saya sebagai seorang imam adalah DOA.
Saya juga diajak untuk belajar percaya bahwa di dalam Tuhan ada kelimpahan berkat dan rahmat.
Seperti Musa, ketika berhadapan dengan Umat Pilihan Allah, yang selalu menggerutu, ia selalu berlari kepada Allah, walaupun kadang Musa sendiri merasa tidak mampu lagi dan hendak meletakkan jabatannya. Tetapi dengan lari kepada Tuhan, akhirnya Musa dapat memperoleh jalan keluar untuk mengatasi keadaan Umat yang merasa serba kekurangan.
Dari Musa saya dapat belajar bahwa di dalam Tuhan pasti ada jalan keluar. Itu berarti kita harus selalu berusaha membangun persekutuan dengan Tuhan melalui DOA. Di samping itu, persoalan yang didatangkan Tuhan bukan untuk dihindari melainkan untuk dihadapi supaya dapat diatasi.
Lebih lanjut, Tugasku sebagai Gembala untuk tiada henti-hentinya mengajak umat supaya datang kepada Tuhan dan dekat dengan Tuhan. Sebagaimana seruan nabi yesaya  ketika umat sesamannya merasa serba kekurangan. "Hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan orang yang tidak mempunya uang marilah, terimah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran" ( Yes 55 : 1 ).
Hal ini mau menjukkan bahwa di dalam Tuhan ada kelimpahan berkat dan rahmat.
Namun demikian bukan berarti kita harus berpangku tangan dan semuanya beres, Kita harus tetap berusaha. Karena dipihak lain Yesus pernah bersabda; " Mintalah maka kamu akan diberi, carilah maka kamu akan mendapat, ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Itu berarti, kelimpahan berkat dan rahmat itu selalu ditawarkan Allah setiap hari, setiap saat, setiap waktu, Tinggal bagaimana kita manusia berusaha untuk mendapatkannya.
Karena itu, saya sebagai seorang gembala, sekaligus diajak untuk selalu berada bersama umat, hadir ditengah umat dan bersama umat berusaha untuk mendapatkan kelimpahan berkat dan rahmat yang datang dari Tuhan.

Sumbawa, 1 Agustus 2011
Rm. Klemens Bere Pr.


Selasa, 02 Agustus 2011

“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang”


“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang”
(Bil 13:1-2a.25; 14:26-29; Mat 15:21-28)
“Lalu Yesus pergi dari situ dan menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: "Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita." Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak." Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab: "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Kata perempuan itu: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh.” (Mat 15:21-28), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
 
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
·   Cukup banyak karya-karya pelayanan pendidikan atau kesehatan lebih berpihak kepada mereka yang pandai atau kaya, sedangkan yang bodoh atau miskin kurang mendapat tempat atau perhatian. Sabda Yesus hari ini mengajak dan mengingatkan kita untuk menghayati salah satu opsi hidup beriman atau menggereja, yaitu “preferential option for/with the poor” (=keberpihakan pada/bersama yang miskin dan berkekurangan). Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang”, demikian sabda Yesus, yang hendaknya juga menjadi pegangan atau acuan kita dalam cara hidup dan cara bertindak kita dalam aneka pelayanan atau kerja kita. Sabda ini kiranya yang menjadi jiwa Ibu Teresa dari Calcuta, yang meninggalkan gedung sekolah mewah dan pergi ke jalanan untuk mengasihi dan melayani mereka yang miskin, sakit, menderita, terbuang, dst.. Dengan ini kami mengajak dan mengingatkan kita semua, segenap umat beriman dan beragama untuk memperhatikan dan mengasihi mereka ‘yang hilang’, yang kurang memperoleh perhatian, sehingga miskin, menderita, sakit dan berkekurangan dalam berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Saya percaya bahwa di sekitar kita atau di lingkungan hidup, kerja dan pelayanan kita ada yang ‘hilang’, maka kami ajak untuk mencari dan memperhatikan mereka, membantunya sesuai dengan kebutuhannya. Ingatlah dan hayati bahwa mereka kiranya cukup beriman, artinya membuka diri sepenuhnya atas penyelenggaraan Ilahi, yang menjadi nyata dalam aneka kebaikan dan perhatian orang lain. Marilah kita perhatikan anak-anak kita yang nakal, bodoh dan rewel alias menjengkelkan serta kita dekati dalam dan dengan cintakasih serta kerendahan hati.
·   “ Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman TUHAN, bahwasanya seperti yang kamu katakan di hadapan-Ku, demikianlah akan Kulakukan kepadamu. Di padang gurun ini bangkai-bangkaimu akan berhantaran, yakni semua orang di antara kamu yang dicatat, semua tanpa terkecuali yang berumur dua puluh tahun ke atas, karena kamu telah bersungut-sungut kepada-Ku”(Bil 14:28-29). Kutipan di atas ini terarah kepada bangsa terpilih yang bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu dalam perjalanan menuju ‘tanah terjanji’. Ada kemugkinan kita yang sedang dalam perjalanan melaksanakan tugas pekerjaan atau menghayati panggilan juga bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu karena harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. Tanpa dihukum mereka yang bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu telah terhukum dengan sendirinya, antara lain mereka akan dijauhi oleh sesamanya atau bahkan mereka sendiri kemudian langsung mengasingkan diri. Bentuk hukuman yang lain antara lain mereka tak berbahagia, mudah terserang penyakit dan kemungkinan juga cepat mati. Kelompok hidup bersama, entah itu keluarga atau masyarakat, dimana anggota-anggotanya bersungut-sungut, mengeluh dan menggerutu, maka secara otomatis hidup bersama akan berantakan. Maka dengan ini kami mengharapkan kita semua: hendaknya jangan bersungut-sungut, mengeluh atau menggerutu ketika dalam perjalanan hidup dan tugas harus menghadapi aneka masalah, tantangan dan hambatan; hadapi saja semuanya itu dengan tenang, gembira dan bergairah, maka jika kita tak mampu sendiri menyelesaikannya pasti banyak orang tergerak mendekati kita dan membantunya. Bukankah keceriaan dan kegairahan serta penuh senyum akan mempesona, menarik dan memikat orang lain? Tidak ada alasan untuk tidak gembira, bergairah dan bersenyum bagi kita yang sungguh beriman, karena Tuha senantiasa menyertai dan mendampingi perjalanan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita. 

Mereka melupakan Allah yang telah menyelamatkan mereka, yang telah melakukan hal-hal yang besar di Mesir: perbuatan-perbuatan ajaib di tanah Ham, perbuatan-perbuatan dahsyat di tepi Laut Teberau. Maka Ia mengatakan hendak memusnahkan mereka, kalau Musa, orang pilihan-Nya, tidak mengetengahi di hadapan-Nya, untuk menyurutkan amarah-Nya, sehingga Ia tidak memusnahkan mereka.”
 (Mzm 106:21-23)
Ign 3 Agustus 2011
Sumber: Millis Keuskupan Denpasar