Rekan-rekan,
Dalam
Mrk 4:26-34 (Injil Minggu Biasa XI/B) didapati dua buah perumpamaan
mengenai Kerajaan Allah (ayat 26-29 dan 30-32) diikuti sebuah catatan
bahwa Yesus memakai perumpamaan bagi orang banyak tapi bagi para murid
diberikannya penjelasan tersendiri (ayat 33-34). Perumpamaan yang
pertama hanya didapati dalam Injil Markus, sedangkan yang kedua
diceritakan juga dalam Mat 13:31-32 dan Luk 13:18-19. Guna memahami
warta petikan ini baiklah ditengok sejenah gagasan apa itu Kerajaan
Allah.
KERAJAAN ALLAH
Ungkapan "Kerajaan Allah" kerap dijumpai
dalam Injil Markus dan Lukas. Injil Matius mengungkapkannya dengan
"Kerajaan Surga". Makna ungkapan ini bukanlah wilayah atau pemerintahan
seperti dalam "kerajaan Majapahit" melainkan kebesaran, kemuliaan,
kekuasaan Tuhan yang diberitakan kedatangannya kepada umat manusia.
Maklum pada zaman itu orang Yahudi mengalami pelbagai kekuasaan yang
amat berbeda dengan masa lampau mereka sendiri sebagai umat-Nya Tuhan.
Pada zaman Yesus mereka tidak lagi bisa menganggap diri umat merdeka
seperti leluhur mereka karena mereka ada di bawah kuasa Romawi. Di
kalangan umat ada harapan satu ketika nanti mereka akan kembali menjadi
umat Tuhan seperti dahulu. Tak jarang harapan ini berujung pada
keinginan untuk merdeka dari kekuasaan Romawi dan menjadi negeri dengan
pemerintahan dan kekuasaan sendiri. Namun cukup jelas harapan seperti
ini tidak bakal terwujud. Ada bentuk rohani dari harapan akan kembali
menjadi umat-Nya Tuhan. Yesus termasuk kalangan yang mengajarkan bentuk
rohani harapan ini. Begitu pula para rahib yang juga dikenal pada zaman
itu. Namun kebanyakan dari mereka menghayati harapan itu dengan menjauh
dari kehidupan ramai dan pergi bertapa di padang gurun dan sekitar Laut
Mati. Kelompok Yesus berbeda. Mereka tetap berada dalam masyarakat namun
berusaha menumbuhkan iman akan kebesaran Tuhan dalam kehidupan mereka.
Mereka yakin bahwa kebesaran-Nya tetap ada, juga di dunia ini, namun
sering sukar dialami. Bagaimanapun juga bagi kelompok ini berusaha
menemukan apa itu kehadiran-Nya yang mulia di dalam kehidupan mereka.
Kehadiran-Nya diimani oleh kelompok ini sebagai yang dekat, yang
melindungi dan memberi kekuatan dari hari ke hari, yang tidak
menghitung-hitung kedosaan melainkan bersikap pengampun. Semua ini juga
didapati dalam doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus.
Inilah
warta yang digambarkan dengan pelbagai perumpamaan dalam Injil-Injil.
Juga dalam petikan yang dibacakan kali ini. Menurut Injil Markus, Yesus
mulai tampil di Galiea dengan warta bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan
orang-orang diajak untuk bertobat, yakni meninggalkan anggapan yang
bukan-bukan seperti di atas dan memegang warta yang sejati dengan
mempercayainya sebagai warta gembira (Mrk 1:15, lihat juga Mat 4:17).
DUA PERUMPAMAAN
Dengan
latar penjelasan mengenai Kerajaan Allah di atas, kini dapat ditengok
perumpamaan pertama. Di situ pertumbuhan Kerajaan Allah digambarkan
sebagai biji yang ditaburkan dan dibiarkan bertunas, tumbuh hingga
berbuah dan dituai pada musimnya. Bagaimana menangkap maksudnya?
Sebaiknya
perumpamaan ini jangan difahami sebagai penjelasan bahwa Kerajaan Allah
itu butuh waktu untuk tumbuh hingga berbuah. Pendapat seperti itu
memang tidak keliru - semua pertumbuhan memerlukan waktu dan keuletan
dst. Tetapi perumpamaan ini justru tidak memusatkan perhatian ke sana.
Yang ditonjolkan dalam perumpamaan ini ialah kuasa ilahi yang tidak
bergantung pada upaya manusia. Dengan demikian diajarkan agar orang
membiarkan kehadiran ilahi ini bergerak menurut iramanya sendiri.
Apakah
tafsiran ini berlawanan dengan pengertian bahwa manusia perlu menerima
dan menanggapi anugerah ilahi agar pemberian itu betul-betul menjadi
nyata? Guna mendalami pertanyaan ini baiklah diingat sebuah perumpamaan
lain mengenai penabur dalam Mrk 4:1-20 yang menebar benih di lahan
berbeda-beda: pingir jalan, tanah berbatu-batu, semak berduri, dan tanah
yang baik. Hanya di tanah yang baik sajalah benih akan tumbuh terus dan
berbuah berlipat ganda. Begitu digambarkan pula bahwa benih membutuhkan
lahan yang cocok. Namun pengajaran dalam perumpamaan itu bukannya untuk
menilai dan menghakimi mana lahan yang tak baik, melainkan untuk
mengajak agar orang mengusahakan agar benih mendapat lahan yang baik.
Bila mendapati benih jatuh di pingir jalan, bawalah ke tanah yang baik,
begitu pula bila mendapati benih di tanah yang berbatu-batu dan semak
duri, pindahkan ke tanah yang baik! Perumpamaan diberikan untuk
menghimbau, bukan untuk mengadili.
Bila demikian maka
perumpamaan dalam Mrk 4:26-29 yang dibicarakan kali ini dapat dimengerti
sebagai ajakan untuk membiarkan benih tumbuh terus dengan daya yang ada
di dalamnya. Sudah diandaikan bahwa lahannya ialah lahan yang cocok.
Hanya butuh dibiarkan dan dijaga agar tetap baik. Membiarkan daya ini
bergerak sendiri ialah kerohanian yang dapat memberi kepuasan batin.
Orang boleh merasa aman karena sadar dirinya tanah yang baik dan telah
menerima benih. Nanti bila waktunya tiba maka akan ada tuaian yang
besar. Begitulah perumpamaan ini
Perumpamaan kedua, Mrk 4:30-32,
mengenai biji sesawi, yang disebut biji terkecil dari segala jenis biji,
tapi bila ditabur - tentunya di tanah yang cocok - dan bertumbuh akan
menjadi besar sehingga burung-burung di udara dapat membuat sarang di
dahan-dahannya dan bernaung di situ. Yang hendak disampaikan di sini
kiranya ialah besarnya Kerajaan Allah sendiri yang tak terduga-duga
sebelumnya. Dari yang paling kecil tumbuhlah yang sedemikian besar.
Pendengar dan juga pembaca akan bertanya-tanya biji apakah biji sesawi
itu? Orang tergugah rasa ingin tahu. Boleh dikatakan, zaman itu juga
orang tidak tahu persis apa biji sesawi yang dibicarakan Yesus. Bahkan
Yesus sendiri pun bisa jadi tak pernah melihat apa tu biji sesawi.
(Bandingkan dengan orang Jawa yang bisa bicara mengenai Pandawa lima
tanpa pernah bertemu dengan salah seorang pun dari mereka, karena memang
mereka tak pernah ada!) Ungkapan itu dipakai sebagai perumpamaan dan
tidak perlu dicari-cari apa padanannya dalam dunia pengetahuan
tumbuh-tumbuhan! Beberapa waktu yang lalu dalam ilmu tafsir memang
sering "pengetahuan" seperti ini dicari-cari dan dijadikan ukuran bagi
penafsiran, tapi sekarang para ahli tafsir lebih berusaha menyadari
makna sastra perumpamaan.
Bila hal di atas diterima, maka boleh
dibayangkan bahwa Yesus justru memakai kata "biji sesawi" yang bakal
mengherankan banyak orang guna menyampaikan warta khas mengenai Kerajaan
Allah. Keheranan, ketakjelasan mengenai apa itu biji yang dimaksud
justru menjadi bagian dari wartanya. Kerajaan Allah tetap misteri, namun
pertumbuhannya nyata dan lingkupnya amat besar tak terduga-duga. Orang
dihimbau untuk menjadi seperti burung di udara, membangun sarang dan
bernaung padanya.
Dalam penjelasan di atas, kedua perumpamaan
mengenai Kerajaan Allah dipahami sebagai ajakan untuk membiarkannya
tumbuh dengan daya ilahi yang ada di dalamnya dan menghormati bahkan
mengherani kebesaran yang kerap tidak segera tampak. Dengan demikian
perumpamaan ini dapat menjadi pengajaran yang menumbuhkan rasa percaya
akan daya ilahi sendiri
PENGAJARAN KHUSUS - BAGI SIAPA?
Dalam
ay. 33-34 disebutkan bahwa Yesus tidak berbicara kepada orang banyak
tanpa memakai perumpamaan, tetapi penjelasannya ia berikan kepada para
murid. Kepada orang banyak Yesus menyampaikan imbauan, seperti dalam
uraian di atas. Kepada para murid, yakni kelompok yang lebih dekat
padanya, diberikannya uraian secara tersendiri. Dalam kaitan dengan dua
perumpamaan tadi Injil Markus tidak memberi penjelasan lebih jauh
tentang uraian Yesus itu. Pembaca boleh menduga-duga. Tetapi tak akan
sampai pada pengertian baru. Perlu diingat bahwa catatan Markus itu
mengenai para murid, bukan mengenai kita pada zaman ini. Kelirulah bila
kita ingin menyamakan diri sebagai para murid yang dikatakan telah
menerima uraian tersendiri. Ini semacam sikap sok rohani yang mau
menonjolkan diri telah dapat pengajaran khusus. Bisa-bisa malah
menghimpit iman. Lebih baik menganggap diri sama seperti "orang banyak",
pendengar umum, yang disebut dalam Injil, yang mendengarkan perumpamaan
dan menikmatinya. Sikap ini lebih memberi kemerdekaan batin, lebih
memungkinkan orang memasuki dunia perumpamaan dan memetik hikmatnya.
Bila langsung ingin menyamakan diri dengan para murid waktu itu, paling
banter orang hanya akan sampai pada pernyataan-pernyatan moralistis basi
tanpa mengolah makna perumpamaannya.
Salam hangat,
A. Gianto-ROMA
*) Sumber Millis KD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar