Jumat, 05 Agustus 2011

TENANGLAH! INILAH AKU, JANGAN TAKUT!"



Rekan-rekan!

Injil Minggu Biasa XIX A ini (Mat 14:22-33) mengisahkan bagaimana para murid
tidak segera mengenali Yesus yang mendatangi mereka dengan berjalan di atas air.
Matius mengolah kembali kisah Yesus berjalan di atas air dalam Mrk 6:45-50 (bdk.
Yoh 6:16-20) dan menambahkan cerita mengenai Petrus (ayat 28-31) yang didapatnya
dari sumber-sumber mengenai tokoh itu. Khas Matius, pada akhir kisah (ayat 33),
disebutkannya bahwa para murid mengakui Yesus sebagai Anak Allah. Markus
menyampaikan pandangan yang berbeda; dalam Mrk 6:51a-52 dikatakan.orang-orang
itu hanya tercengang tanpa mengenal siapa Yesus sesungguhnya "karena hati mereka
tetap tidak peka."

YESUS MENDESAK PARA MURID

Setelah memberi makan 5000 orang, Yesus segera mendesak para murid agar
menyeberangi danau. Ia sendiri naik ke sebuah bukit untuk berdoa. Kata
"mendesak" memang keras, begitu juga dalam teks aslinya. Ada yang perlu
dilakukan agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan. Apa itu? Menurut Injil
Yohanes, orang banyak yang mengalami peristiwa roti itu kini mau mengangkatnya
sebagai raja. Oleh karenanya Yesus menyingkir ke gunung seorang diri (Yoh 6:15).
Dia menghindari mereka yang mau memaksakan ukuran-ukuran serta cita-cita mereka
sendiri kepadanya. Kebesarannya yang sejati terletak dalam pengorbanan menebus
kemanusiaan dengan penderitaan hingga mati di salib, dan khas menurut Yohanes,
hingga "terlaksana" demikian (Yoh 19:30). Yesus menyingkir menyendiri, dan
seperti dicatat Matius dan Markus, untuk berdoa. Ia mencari pengarahan dari Dia
yang mengutusnya. Bagaimana dengan para murid? Boleh jadi mereka juga sudah
mulai berpikir seperti orang banyak. Mereka juga tak dapat menerima mengapa
Yesus yang sedemikian terhormat itu bakal ditolak dan dibunuh oleh orang-orang
di Yerusalem. Para murid belum paham akan kemesiasan rohani Yesus. Mereka malah
mengira ini saat tepat bagi Yesus untuk menjadi pemimpin masyarakat yang
dinanti-nantikan! Bila kita perhitungkan keadaan itu, maka tak sulit mengerti
mengapa Yesus mendesak mereka agar pergi ke seberang danau. Ia bermaksud
menjauhkan mereka dari orang-orang yang memiliki anggapan yang kurang cocok
mengenai dirinya. Mereka disendirikan agar nanti dapat melihat dirinya yang
sebenarnya. Dan ia sendiri menyingkir ke keheningan doa.

PERAHU TEROMBANG-AMBING

Para murid berusaha mencapai seberang danau. Berjam-jam mereka berputar-putar
karena menghadapi angin sakal dan gelombang. Apa yang dirasakan para murid?
Mereka kan orang-orang yang cukup berpengalaman mengenai gelombang, mengenai
arah angin, dst. Mereka tahu waktu-waktu itu kurang baik untuk berperahu ke
seberang. Tak jelas bagi mereka mengapa Yesus menyingkiri massa yang baru saja
dipuaskannya dengan makanan. Malah murid-murid juga disuruh menjauh dari
orang-orang yang pasti bakal menjadi pengikutnya. Dan mengapa mereka mesti
menuju ke arah yang sulit dicapai dalam keadaan ini. Bagaimanapun juga mereka
menurut dan berkayuh semalam penuh sampai dini hari. Dan ketika berada di tengah
danau, gelombang dan angin semakin mengombang-ambingkan perahu mereka.

Para murid merasa terancam. Runyamnya, kini guru mereka tidak ada bersama
mereka. Tidak seperti ketika Yesus tidur di perahu (Mat 8:23-27 Mrk 4:45-41 Luk
8:22-25). Mereka dapat membangunkannya dan ia meredakan angin ribut. Kali ini
mereka tidak disertai dia yang berkuasa atas angin dan danau! Mereka mulai
dikuasai waswas. Peristiwa ini kerap diterapkan pada kehidupan umat yang
terombang-ambing di tengah arus-arus yang membuat bahtera yang sedang membawa
mereka - gereja - berputar-putar tanpa arah. Kekacauan menjadi-jadi dan terasa
lebih kuat daripada tuntunan ilahi sendiri.

Ketika Yesus mendekat, para murid tidak segera mengenalinya. Malah ia dikira
jejadian. Cara Matius berkisah menarik. Dipakainya kutipan langsung, "Itu
hantu!" (Mat 14:26). Bandingkan dengan sumbernya dalam Mrk 6:49 yang memakai
cara bercerita biasa. Yoh 6:19 malah hanya menyebut mereka ketakutan begitu
saja. Peristiwa ini disampaikan Matius dengan cara dramatik diselingi rasa humor
tapi juga simpati. Pembaca dapat merasa diikutsertakan sambil tetap memandangi
kejadian-kejadian dengan tenang. Kita boleh tersenyum dan berkomentar dalam
hati, kok bodo amat ya para murid itu! Teriak-teriak kayak anak kecil merasa
melihat hantu! Namun seperti halnya humor yang berhasil dapat menjadi cermin
bagi pembaca, juga kisah ini dapat menghadapkan kita pada pengalaman yang
mirip-mirip yang sering tidak segera kita sadari.

YESUS BERJALAN DI ATAS AIR

Apa arti "berjalan di atas air"? Dipakai kata yang harfiahnya berarti "berjalan
mondar mandir", seperti sedang berjalan-jalan santai di taman. Juga ada makna
serta "berinteraksi" dengan keadaan dengan tenang dan enak. Dahulu para guru
Yahudi sering diceritakan mengajarkan prinsip-prinsip etika kepada para murid
mereka sambil "berjalan-jalan", sering tidak dalam arti mondar mandir
melangkahkan kaki, melainkan menelusuri pelbagai gagasan, teori, serta pemikiran
leluhur dan para cerdik pandai. Begitulah asal usul pengajaran yang biasa
dikenal sebagai "halakha", yakni penjelasan yang dituruntemurunkan mengenai
hukum dan agama. Diajarkan bagaimana menelusuri perkara-perkara kehidupan dengan
santai tapi waspada, tidak tegang dan terpancang pada satu hal saja. Seorang
ahli dapat dengan enak meniti arus-arus pemikiran tanpa terhanyut.

Murid-murid melihat ada sosok yang menguasai gerakan-gerakan gelombang. Yesus
tidak menggilasnya. Juga pada kesempatan lain ketika menghardik angin dan danau
(Mat 8:26 Mrk 4:39 Luk 8:24), ia cukup menyuruh mereka diam. Itulah tempat
mereka yang sebenarnya di hadapan keilahian. Sekarang ia malah tidak memakai
kata-kata. Ia leluasa berjalan di atas kekuatan-kekuatan itu.
Kenyataan-kenyataan yang bisa mengacaukan tidak menggentarkannya. Malah mereka
dijinakkan. Ini semua dilihat para murid. Namun mereka tidak sertamerta
mengenali siapa dia itu yang bertindak demikian. Sosok ini datang dari Yang
Ilahi atau dari yang jahat? Begitulah cara mereka membeda-bedakan. Tak banyak
menolong. Yesus menenangkan dan menyuruh mereka melihat baik-baik bahwa dialah
yang ada di situ. Tak perlu lagi risau akan kekuatan-kekuatan yang menakutkan
yang sebenarnya semu dan justru akan benar-benar membahayakan bila dianggap
sungguh. Yesus hendak mengajarkan kebijaksanaan yang dihayatinya sendiri. Di
padang gurun ia berhasil melewati godaan Iblis dengan budi yang terang, bukan
dengan balik menghantam. Pembaca yang jeli akan menghubungkan ketenangannya itu
dengan tindakannya sebelum datang kepada murid-muridnya: ia pergi menyendiri dan
berdoa, meluruskan serta membangun hubungan dengan keilahian dalam ketenangan.
Itulah sumber kebijaksanaannya.

Ayub 9:8 menyebut Allah yang Mahakuasa "membentangkan langit", dan "berjalan
melangkah di atas gelombang-gelombang laut", artinya menguasai kekuatan-kekuatan
yang tak terperikan dahsyatnya. Tidak dengan meniadakannya, melainkan dengan
mengendalikannya. Ia mengatur alam yang dahsyat itu dengan kebijaksanaaNya.
Yesus menyelaraskan diri dengan Yang Mahakuasa yang demikian itu. Ia tetap
mengarahkan diri kepadaNya. Dan menurut Matius, nanti pada akhir kisah ini, para
murid mengakuinya, "Sesungguhnya Engkau itu Anak Allah." Mereka mulai paham
bahwa Yesus membawa keilahian dalam dirinya.

PERAN PETRUS

Mengapa Petrus mulai tenggelam? Seperti diceritakan, ketika merasakan tiupan
angin, Petrus mulai tenggelam. Matius tidak mengatakan semuanya. Tapi tadi ia
kan sudah menjelaskan bahwa Yesus berdoa sebelum mendatangi murid-muridnya
dengan berjalan di atas air. Bagaimana dengan Petrus? Tokoh ini bertindak dengan
spontanitas dan maksud baik belaka. Lihat apa yang terjadi! Tapi akhirnya ia
berteriak minta tolong, "Tuhan, tolonglah aku!" Seruan ini diarahkan kepada
Tuhan. Ini doa. Dan doanya didengarkan. Tapi siapa yang memegang tangan Petrus
dan menahannya agar tidak tenggelam? Yesus. Di sini ada pengajaran yang amat
dalam. Yesus yang dikenal sehari-hari dan diikuti itu menjadi jalan Yang
Mahakuasa menolong dalam saat-saat kritis. Kejadian ini membuat orang-orang yang
ada di perahu mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Dalam ayat 33, ketika
Yesus dan Petrus sudah naik ke perahu, orang-orang itu menyembah Dia - tentunya
menyembah Yang Mahakuasa sendiri - dan mengenali kehadiranNya di dalam diri
Yesus yang kini mereka akui sebagai Anak Allah. Markus berbeda. Ia mengatakan
para murid hanya tercengang, tanpa memahami, karena hati mereka tidak peka (Mrk
6:51a-52). Tapi Markus tidak menyertakan episode Petrus seperti Matius.
Kelihatan betapa besarnya peran Petrus yang dengan tindakan yang tampaknya
konyol tadi malah membuat rekan-rekannya menyadari siapa sebenarnya guru yang
mereka ikuti itu.

Yesus menyapa Petrus (ayat 31), "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau
bimbang!" (ayat 31). Memang dalam kisah tadi kata-kata itu ditujukan kepada
Petrus, tetapi isinya dimaksud bagi siapa saya. Juga bagi kita. Satu hal lagi.
Walaupun harfiahnya berisi celaan, nada kata-kata itu penuh perhatian
sebagaimana layaknya seorang guru kepada muridnya. Ada bombongan: jangan
bimbang, jadilah besar dalam iman!

Salam hangat,
A. Gianto
Sumber: millis Keuskupan Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar