Rabu, 07 September 2011

SAMPAI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI

Rekan-rekan!
Injil Minggu Biasa XXIV tahun A (Mat 18:21-35) kembali berbicara mengenai
pengampunan. Kali ini Petrus bertanya sampai berapa kalikah pengampunan bisa
diberikan. Pada dasarnya jawaban Yesus hendak mengatakan, tak usah
menghitung-hitung, lakukan terus saja. Kemudian ia menceritakan perumpamaan
untuk menjelaskan mengapa sikap pengampun perlu ditumbuhkan (ay. 23-35). Pembaca
setapak demi setapak dituntun agar menyadari mengapa sikap mengampuni dengan
ikhlas itu wajar. Tapi juga yang wajar inilah yang akan membuat Kerajaan Surga
semakin nyata.

SAMPAI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI

GUS: Matt, apa sih maksud "7 kali" dan "70 kali 7 kali" dalam pembicaraan antara
Petrus dan Yesus?

MATT: Itu gaya berungkap orang Yahudi dulu. Ingat Kej 4:24? Membunuh nyawa Kain
akan mendatangkan balasan "tujuh kali lipat", tetapi kejahatan terhadap nyawa
Lamekh, keturunan Kain, bakal dibalas bahkan sampai tujuh puluh tujuh kali
lipat.

GUS: Kain kan bersalah membunuh Habel, adiknya, karena dengki.

MATT: Benar. Tetapi ia kan ditandai Allah agar nyawanya tidak diganggu-gugat.
Yang membunuhnya untuk membalas dendam akan kena hukuman balas sampai tujuh kali
lipat (Kej 4:15), maksudnya sampai penuh. Lamekh juga membunuh orang yang
melukainya (Kej 4:23), katakan saja untuk membela diri, bukan karena dengki
seperti Kain. Dan siapa membalas dendam dengan mengakhiri nyawa Lamekh akan
terkena hukuman yang tak terperi besarnya - tujuh puluh tujuh kali lipat - tanpa
batas.

GUS: Jadi orang Perjanjian Lama mulai sadar bahwa kebiasaan balas dendam tidak
boleh dilanjut-lanjutkan, dan bila dilakukan malah akan memperburuk keadaan.

MATT: Persis. Kembali ke pertanyaan Petrus. Kata-katanya menggemakan upaya
membatasi sikap balas dendam tadi. Bila seorang saudara menyalahi untuk pertama
kalinya, ditolerir saja dah, begitu juga untuk kedua kalinya, dan seterusnya
sampai ketujuh kalinya. Tapi sesudah tujuh kali dianggap kelewat batas dan tak
perlu diampuni lagi! Amat longgar, walau masih tetap ada batasnya. Tetapi Yesus
hendak mengatakan semua itu tak cukup. Orang mesti berani mengampuni sampai
"tujuh puluh kali tujuh kali", artinya, tak berbatas. Malah tak usah memikirkan
sampai mana. Sikap pengampun jadi sikap hidup.

GUS: Kalau begitu, pengampunan tak berbatas itu kutub lain dari gagasan yang
mendasari ancaman balasan hukuman yang tak berbatas seperti dalam seruan Lamekh
tadi.

MATT: Tapi sebenarnya pusat perhatian Injil lebih dalam daripada mengampuni
tanpa batas tok. Kan sudah diandaikan para murid punya sikap itu.

GUS: Lho lalu apa?

MATT: Begini, sikap pengampun memungkinkan Kerajaan Surga menjadi nyata di muka
bumi ini. Itu tujuan Mat 18:23-35.

GUS: Dalam Sabda Bahagia antara lain disebutkan, orang yang berbelaskasihan itu
orang bahagia, karena mereka sendiri akan memperoleh belas kasihan (Mat 5:7).
Katanya begitulah cara hidup di dalam Kerajaan Surga. Bolehkah disebutkan, di
muka bumi Kerajaan ini baru terasa betul nyata bila ada sikap belas kasihan satu
sama lain?

MATT: Benar. Kerajaan Surga memang sudah datang, tapi baru bertumbuh dan
betul-betul bisa disebut membahagiakan bila yang mempercayainya juga ikut
mengusahakannya. Yesus memahami sikap pengampun bukan sebagai kelonggaran hati
atau kebaikan semata-mata, melainkan sebagai upaya ikut memungkinkan agar
Kerajaan Surga menjadi kenyataan, bukan angan-angan belaka.

GUS: Doa Bapa Kami (Mat 6:9-13) berawal dengan seruan pujian bagi nama Allah
Yang Mahakuasa sebagai Bapa dan diteruskan dengan permohonan agar KerajaanNya
datang dan kehendakNya terlaksana dan permintaan agar diberi kekuatan cukup
untuk hidup dari hari ke hari.

MATT: Dan baru setelah itu, dalam Mat 6:12, disampaikan permohonan agar
kesalahan "kami" diampuni "seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada
kami". Jelas kan? Ukuran bagi dikabulkan tidaknya permintaan ampun tadi ialah
kesediaan mengampuni saudara yang kita rasa menyalahi kita.

GUS: Rasa-rasanya Yesus hendak menggugah kesadaran bahwa pengampunan hanya
mungkin bila disertai kesediaan seperti terungkap dalam doa Bapa Kami tadi.

MAKNA PERUMPAMAAN
Petikan hari ini juga memuat sebuah perumpamaan (ay. 23-35). Pada bagian pertama
(ay. 23-27) digambarkan kebesaran raja yang pengampun terhadap hambanya yang tak
dapat membayar hutangnya yang amat besar - 10.000 talenta. Dalam keadaan biasa
hamba itu mesti dijual untuk menebus hutangnya, begitu juga anak dan istrinya
serta seluruh harta miliknya. Tetapi ia meminta kelonggaran. Ia mohon agar raja
bersabar. Dan sang raja tergerak hatinya dan malah menghapus hutang yang besar
itu. Raja itu sanggup merugi karena mau sungguh-sungguh menunjukkan belas kasih
terhadap hamba yang kesempitan itu.

Siapakah raja itu? Mungkin kita cepat-cepat menganggapnya ibarat bagi Allah yang
berbelas kasih. Tapi pemahaman ini tidak amat jitu. Matius sendiri memberi
isyarat bahwa bukan itulah maksudnya. Pada awal perumpamaan itu, disebutkan
Kerajaan Surga itu seumpama "seorang raja" (ay. 23). Dalam teks Matius dipakai
ungkapan "anthropos basileus", harfiahnya, "manusia yang berkedudukan sebagai
raja" dan juga "raja yang tetap manusiawi". Memang boleh dimengerti bahwa
ungkapan itu mencerminkan gaya bahasa Semit dan "manusia" di situ berarti
"seorang", tak penting siapa. Bagaimanapun juga, hendak ditonjolkan bahwa tokoh
ybs. itu orang, manusia seperti orang lain, sesama yang saudara, walau beda
kedudukannya.

Gagasan di atas bisa diterapkan kepada siapa saja yang mempunyai kuasa atas
orang lain. Jadi yang hendak ditampilkan ialah kebesaran orang yang
berkedudukan. Makin tinggi kedudukannya makin patutlah ia menunjukkan kemurahan
hati terhadap yang dibawahinya. Kan pada dasarnya sama-sama manusia. Makin
beruntung makin boleh diharapkan sanggup merugi, sanggup kehilangan sebagian
miliknya, sebesar apapun, agar membuat orang bisa ikut merasakan keberuntungan.
Ini keluhurannya. Berapa yang dilepaskannya? Amat besar. Satu talenta nilainya
antara 6.000 hingga 10.000 dinar. Dan satu dinar ialah upah buruh harian sehari.
Maka sepuluh ribu talenta itu jumlah yang amat besar. Makin beruntung orang
makin diharapkan dapat menyelami keadaan orang yang sedang bernasib malang. Cara
berpikir demikian ditonjolkan. Mengapa? Kiranya memang ada kesadaran bahwa
setinggi apapun, sekaya apapun, orang tetap sesama bagi orang lain. Tapi juga
semalang apapun, seterpuruk apapun keadaan sosialnya, orang tetap bisa
mengharapkan bantuan dari saudara yang lebih beruntung. Inilah yang bakal
membuat Kerajaan Surga menjadi kenyataan di dunia ini juga. Ini spiritualitas
Matius, ini ajaran rohani Injilnya.

Ringkasnya, bagian pertama perumpamaan itu dimaksud untuk menunjukkan bahwa
Kerajaan Surga dibangun atas dasar kesediaan mereka yang berkelebihan untuk
berbagi dengan yang kurang beruntung. Dimensi horisontal Kerajaan Surga
digarisbawahi dengan jelas.

Pada bagian kedua muncul gambaran yang berkontras. Hamba yang dihapus hutangnya
itu tidak mau meneruskan berbelaskasihan yang dialaminya kepada rekannya yang
berhutang kepadanya seratus dinar saja. Jadi hanya seperseratus dari hutangnya
sendiri. Permintaan rekannya tak digubris. Bisa dicatat, tindakan bersujud dan
permintaan kelonggaran rekan ini (ay. 29) sama dengan yang diucapkannya sendiri
di hadapan raja majikannya tadi (ay. 26). Tetapi ia tetap tidak mau berbagi
keberuntungan. Rekannya dijebloskannya ke penjara. Ada ironi. Tadi atasan
bersikap longgar. Kini rekan sekerja kok malah berlaku kejam!

Dalam ay. 31 ada hal yang menarik. Rekan-rekan sekerja lain yang menyaksikan
perlakuan kejam tadi menjadi sedih dan melaporkan kejadian itu kepada raja sang
majikan hamba yang hutangnya dihapus tadi. Para rekan ini bukan hanya sekadar
tambahan cerita. Mereka berperan sebagai suara hati yang masih peka akan
keadilan, peka akan kewajiban moral. Dan kepekaan ini menjadi keberanian
bersuara mengungkapkan ketidakberesan. Tapi hamba yang kejam tak mau melihat
semua ini. Ia tak mau bertindak seperti tuannya. Akhirnya ia sendiri tersiksa
sampai ia melunasi hutangnya yang amat besar itu. Apa kesalahannya? Ia menolak
menjadi saudara bagi rekan sekerjanya. Dan lebih dari itu, ia juga menolak
menjadi saudara bagi tuannya sendiri.

ARAH KE DALAM DAN KE LUAR
Perumpamaan itu berakhir dengan perkataan berikut (ay. 35): "Demikianlah juga
yang akan diperbuat oleh Bapaku yang ada di surga terhadap kamu bila kamu
masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu." Terasa gema
permintaan ampun dalam Bapa Kami dan Sabda Bahagia. Keikhlasan mengampuni
kiranya menjadi tolok ukur integritas murid-murid Yesus. Dan juga menjadi cara
hidup para pengikutnya.

Petrus bertanya tentang mengampuni "saudara" - dan tidak dipakai kata "sesama".
Begitu pula perkataan Yesus di atas. Seperti disinggung minggu lalu, "saudara"
memang juga sesama, tapi lebih bersangkutan dengan upaya membangun umat dari
dalam daripada menggarap kehidupan di masyarakat luas. Tidak semua hal
digariskan Injil walau semangatnya bisa berlaku umum. Tetapi diamnya Injil itu
menjadi ajakan agar umat mencari jalan bersama dengan unsur-unsur lain di
masyarakat luas dalam upaya membuat kemanusiaan semakin pantas.

Salam,
A. Gianto
*) Sumber millis KD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar